Sejarah Kota Pekanbaru

Pembentukan Provinsi Riau
ditetapkan dengan Undang-undang Darurat Nomor 19 Tahun 1957. Kemudian
diundangkan dalam Undang-undang Nomor 61 tahun 1958. Sama halnya dengan
provinsi lain yang ada di Indonesia, untuk berdirinya Provinsi Riau memakan
waktu dan perjuangan yang cukup panjang, yaitu hampir 6 tahun (17 Nopember 1952
s/d 5 Maret 1958).
Periode 5 Maret 1958 – 6 Januari
1960
Dalam Undang-undang pembentukan
daerah swatantra tingkat I Sumatera Barat, Jambi dan Riau, Jo Lembaran Negara
No 75 tahun 1957, daerah swatantra Tingkat I Riau meliputi wilayah daerah
swatantra tingkat II ;
    Bengkalis
    Kampar
    Indragiri
    Kepulauan Riau, termaktub dalam UU No. 12
tahun 1956 (L. Negara tahun 1956 No.25)
    Kotaparaja Pekanbaru, termaktub dalam
Undang-undang No. 8 tahun 1956 No. 19
Dengan surat keputusan Presiden
tertanggal 27 Februari 1958 No. 258/M/1958 telah diangkat Mr. S.M. Amin,
Gubernur KDH Provinsi Riau di lakukan pada tanggal 5 Maret 1958 di
Tanjungpinang oleh Menteri Dalam Negeri yang diwakili oleh Sekjen Mr. Sumarman.
Pelantikan tersebut dilakukan ditengah-tengah klimaksnya gerakan koreksi dari
daerah melalui PRRI di Sumatera Tengah yang melibatkan secara langsung daerah
Riau. Dengan demikian, Pemerintah Daerah Riau yang baru terbentuk harus
mencurahkan perhatian dan kegiatannya untuk memulihkan keamanan di daerahnya
sendiri.
Seiring dengan terjadinya gerakan
koreksi dari daerah melalui PRRI, telah menyebabkan kondisi perekonomian di
Provinsi Riau yang baru terbentuk semakin tidak menentu. Untuk mengatasi kekurangan
akan makanan, maka diambil tindakan darurat, para pedagang yang mampu
dikerahkan untuk mengadakan persediaan bahan makanan yang luas. Dengan demikian
dalam waktu singkat arus lalu lintas barang yang diperlukan rakyat
berangsur-angsur dapat dipulihkan kembali.
Di Riau Daratan yang baru
dibebaskan dari pengaruh PRRI, pemerintahan di Kabupaten mulai ditertibkan.
Sebagai Bupati Inderagiri di Rengat ditunjuk Tengku Bay, di Bengkalis Abdullah
Syafei. Di Pekanbaru dibentuk filial Kantor Gubernur yang pimpinannya
didatangkan dari kantor Gubernur Tanjungpinang, yaitu Bupati Dt. Wan
Abdurrachman dibantu oleh Wedana T. Kamaruzzaman.
Pemindahan Ibukota
Karena situasi daerah telah mulai
aman, maka oleh pemerintah (Menteri Dalam Negeri) telah mulai dipikirkan untuk
menetapkan ibukota Provinsi Riau secara sungguh-sungguh, karena penetapan
Tanjung Pinang sebagai ibukota provinsi hanya bersifat sementara. Dalam hal ini
Menteri Dalam Negeri telah mengirim kawat kepada Gubernur Riau tanggal 30
Agustus 1958 No. Sekr. 15/15/6.
Untuk menanggapi maksud kawat
tersebut secara sungguh-sungguh dan penuh pertimbangan yang cukup dapat
dipertanggung jawabkan, maka Badan Penasehat meminta kepada Gubernur supaya
membentuk suatu Panitia khusus. Dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah
Swatantra tingkat I Riau tanggal 22 September 1958 No.21/0/3-D/58 dibentuk
panitia Penyelidik Penetapan Ibukota Daerah Swatantra Tingkat I Riau.
Panitia ini telah berkeliling ke
seluruh Daerah Riau untuk mendengar pendapat-pendapat pemuka-pemuka masyarakat,
penguasa Perang Riau Daratan dan Penguasa Perang Riau Kepulauan. Dari angket
langsung yang diadakan panitia tersebut, maka diambillah ketetapan, bahwa
sebagai ibukota terpilih Kota Pekanbaru. Pendapatan ini langsung disampaikan
kepada Menteri Dalam Negeri. Akhirnya tanggal 20 Januari 1959 dikeluarkan Surat
Keputusan dengan No. Des.52/1/44-25 yang menetapkan Pekanbaru sebagai ibukota
Provinsi Riau.
Untuk merealisir ketetapan
tersebut, dibentuklah dipusat suatu panitia interdepartemental, karena
pemindahan ibukota dari Tanjungpinang ke Pekanbaru menyangkut kepentingan semua
Departemen. Sebagai pelaksana di daerah dibentuk pula suatu badan di Pekanbaru
yang diketuai oleh Penguasa Perang Riau Daratan Letkol. Kaharuddin Nasution.
Sejak itulah mulai dibangun Kota
Pekanbaru dan untuk tahap pertama mempersiapkan bangunan-bangunan yang dalam
waktu singkat dapat menampung pemindahan kantor-kantor dan pegawai-pegawai dari
Tanjung Pinang ke Pekanbaru. Sementara persiapan pemindahan secara simultan
terus dilaksanakan, perubahan struktur pemerintahan daerah berdasarkan Penpres
No.6/1959 sekaligus direalisir.
Gubernur Mr. S.M. Amin digantikan
oleh Letkol Kaharuddin Nasution yang dilantik digedung Sekolah Pei Ing
Pekanbaru tanggal 6 Januari 1960. Karena Kota Pekanbaru belum mempunyai gedung
yang representatif, maka dipakailah gedung sekolah Pei Ing untuk tempat
upacara.
Periode 6 Januari 1960 – 15
Nopember 1966
Dengan dilantiknya Letkol
Kaharuddin Nasution sebagai Gubernur, maka struktur Pemerintahan Daerah Tingkat
I Riau dengan sendirinya mengalami pula perubahan. Badan Penasehat Gubernur
Kepala Daerah dibubarkan dan pelaksanaan pemindahan ibukota dimulai. Rombongan
pemindahan pertama dari Tanjungpinang ke Pekanbaru dimulai pada awal Januari
1960 dan mulai saat itu resmilah Pekanbaru menjadi ibukota.
Aparatur pemerintahan daerah,
sesuai dengan Penpres No.6 tahun 1959 mulai dilengkapi dan sebagai langkah pertama
dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri tanggal 14 April 1960 No.
PD6/2/12-10 telah dilantik Badan Pemerintah Harian bertempat di gedung Pei Ing
Pekanbaru dengan anggota-anggota terdiri dari :
    Wan Ghalib
    Soeman Hs
    A. Muin Sadjoko
Anggota-anggota Badan
Pemerintahan Harian tersebut merupakan pembantu-pembantu Gubernur Kepala Daerah
untuk menjalankan pemerintahan sehari-hari. Di dalam rapat Gubernur, Badan
Pemerintah Harian dan Staff Residen Mr. Sis Tjakraningrat, disusunlah program kerje
Pemerintah Daerah, yang dititik beratkan pada :
    Pemulihan perhubungan lalu lintas untuk
kemakmuran rakyat.
    Menggali sumber-sumber penghasilan daerah
    Menyempurnakan aparatur.
Program tersebut dilaksanakan
secara konsekwen sehingga dalam waktu singkat jalan raya antara Pekanbaru
sampai batas Sumatera Barat siap dikerjakan. Jalan tersebut merupakan
kebanggaan Provinsi Riau. Pemasukan keuangan daerah mulai kelihatan nyata,
sehingga Kas Daerah yang pada mulanya kosong sama sekali, mulai berisi.
Anggaran Belanja yang diperbuat kemudian tidak lagi merupakan anggaran khayalan
tetapi betul-betul dapat dipenuhi dengan sumber-sumber penghasilan sendiri
sebagai suatu daerah otonom.
Disamping itu atas prakarsa
Gubernur Kaharuddin Nasution diusahakan pula pengumpulan dana disamping
keuangan daerah yang sifatnya inkonvensional. Dana ini diperdapat dari
sumber-sumber di luar anggaran daerah, dan hasilnya dimanfaatkan untuk
pembangunan, diantaranya pembangunan pelabuhan baru beserta gudangnya, gedung
pertemuan umum (Gedung Trikora), gedung Universitas Riau, Wisma Riau Mesjid
Agung, Asrama Pelajar Riau untuk Putera dan Putri di Yogyakarta dan lain-lain.
Untuk penyempurnaan pemerintahan
daerah, disusunlah DPRD-GR. Untuk itu ditugaskan anggota BPH Wan Ghalib dengan
dibantu Bupati Dt. Mangkuto Ameh untuk mengadakan hearing dengan partai-partai
politik dan organisasi-organisasi massa dalam menyusun komposisi. Sesuai dengan
itu diajukan sebanyak 38 calon anggota yang disampaikan kepada menteri dalam
negeri Ipik Gandamana.
Usaha untuk menyempurnakan
Pemerintah Daerah terus ditingkatkan, disamping Gubernur Kepala Daerah, pada
tanggal 25 April 1962 diangkat seorang Wakil Gubernur kepala Daerah, yaitu Dt.
Wan Abdurrahman yang semula menjabat Walikota Pekanbaru, jabatan Walikota
dipegang oleh Tengku Bay.
Masuknya unsur-unsur Nasional dan
Komunis dalam tubuh BPH disebabkan saat itu sudah merupakan ketentuan yang
tidak tertulis, bahwa semua aparat pemerintahan harus berintikan “NASAKOM”.
Kemudian Penpres No. 6 tahun 1959 diganti dan disempurnakan dengan
Undang-undang No. 18 tahun 1965 tentang pokok-pokok Pemerintahan Daerah.
Nasakomisasi diterapkan tidak melalui ketentuan perundang-undangan tetapi
tekanan-tekanan dari atas.
Sejalan dengan itu dibentuk pula
pula apa yang dinamakan Front Nasional Daerah Tingkat I Riau, yang pimpinan
hariannya terdiri dari unsur Nasakom. Front Nasional ini mengkoordinir semua
potensi parta-partai politik dan organisasi-organisasi massa. Dengan sendirinya
di dalam Front Nasional ini bertarung ideologi yang bertentangan, yang menurut
cita-cita haruslah dipersatukan.
Kedudukan pimpinan harian Front
Nasional ini merupakan kedudukan penting, karena mereka menguasai massa rakyat.
Karena itu pulalah Pimpinanan Harian tersebut didudukkan di samping Gubernur
Kepala Daerah, yang merupakan anggota Panca Tunggal. Atas dasar Nasakomisasi
ini, maka golongan komunis telah dapat merebut posisi yang kuat. Ditambah pula
dengan tekanan-tekanan pihak yang berkuasa, maka peranan komunis dalam Front
Nasional tersebut sangat menonjol.
Di samping penyempurnaan aparatur
pemerintahan, oleh Pemerintah Daerah dirasakan pula bahwa luasnya daerah-daerah
kabupaten yang ada dan batas-batasnya kurang sempurna, sehingga sering
menimbulkan stagnasi dalam kelancaran jalannya roda pemerintahan. Ditambah lagi
adanya hasrat rakyat dari beberapa daerah seperti Indragiri Hilir, Rokan, Bagan
Siapi-api dan lain-lain yang menginginkan supaya daerah-daerah tersebut dijadikan
Kabupaten. Untuk itu maka oleh Pemerintah Daerah Provinsi Riau pada tanggal 15
Desember 1962 dengan SK. No.615 tahun 1962 di bentuklah suatu panitia.
Sewaktu pemerintah pusat
memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia dan Singapura, serta
ditingkatkan dengan konfrontasi fisik dengan keputusan Presiden Republik Indonesia
tahun 1963, maka yang paling dahulu menampung konsekwensi-konsekwensinya adalah
daerah Riau. Daerah ini yang berbatasan langsung dengan kedua negara tetangga
tersebut dan orientasi ekonominya sejak berabad-abad tergantung dari Malaysia
dan Singapura sekaligus menjadi kacau.
Untuk menghadapi keadaan yang
sangat mengacaukan kehidupan rakyat tersebut, dalam rapat kilat yang diadakan
Gubernur beserta anggota-anggota BPH, Catur Tunggal dan Instansi-instansi yang
bertanggung jawab, telah dibahas situasi yang gawat tersebut serta dicarikan
jalan keluar untuk bisa mengatasi keadaan. Kepada salah seorang anggota BPH
ditugaskan untuk menyusun suatu konsep program yang meliputi semua bidang
kecuali bidang pertanahan, dengan diberi waktu satu malam. Dalam rapat yang
diadakan besok paginya konsep yang telah disusun tersebut diterima secara
mutatis mutandis.
Tetapi nyatanya pemerintah pusat
waktu itu tidak dapat melaksanakan program tersebut sebagaimana yang diharapkan
terutama tindakan-tindakan yang diperlukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan
yang dihadapi langsung oleh rakyat, seperti pengiriman bahan pokok untuk
daerah-daerah Kepulauan dan penyaluran hasil produksi rakyat.
Dalam bidang moneter diambil pula
tindakan-tindakan drastis dengan menghapuskan berlakunya mata uang dollar
Singapura/Malaysia di Kepulauan Riau, serta menggantinya dengan KRRP (Rupiah
Kepualaun Riau) yang berlaku mulai tanggal 15 Oktober 1963. Untuk melaksanakan
pengrupiahan Kepualauan Riau tersebut, diberikan tugas kepada Team Task Force
II dibawah pimpinan Mr. Djuana dari Bank Indonesia.
Dengan perubahan-perubahan pola
ekonomi secara mendadak dan menyeluruh dengan sendirinya terjadi stagnasi.
Perekonomian jadi tidak menentu. Arus barang terhenti, baik keluar maupun
masuk. Daerah Riau yang pada dasarnya adalah penghasil barang ekspor, akhirnya
menjadi kekeringan. Barang-barang produksi rakyat, terutama karet menjadi
menumpuk dan tak dapat di alirkan, barang-barang kebutuhan rakyat tidak masuk
kecuali yang didatangkan oleh pemerintah sendiri yang tebatas hanya di
kota-kota pelabuhan. Kebijaksanaan yang diambil pemerintah kemudian tidak meredakan
keadaan, malahan menambah kesengsarahan rakyat, terutama di bidang ekonomi dan
keamanan.
Untuk menanggulangi bidang
ekonomi, di pusat dibentuk Komando Tertinggi Urusan Ekonomi (Kotoe) yang
dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri I Dr. Subandrio. Di Riau di tunjuk Gubernur
Kaharuddin Nasution sebagai pembantu Kotoe tersebut. Oleh Kotoe di tunjuk PT.
Karkam dengan hak monopoli untuk menampung seluruh karet rakyat dan mengekspor
keluar negeri. Kondisi ini justru semakin memperburuk perekonomian rakyat.
Pada tahun–tahun terakhir masa
jabatan Gubernur Kaharuddin Nasution terjadi ketegangan dengan pemuka-pemuka
masyarakat Riau. Dari segi politis, ketegangan dengan tokoh-tokoh masyarakat
Riau telah berjalan beberapa tahun yang berpangkal pada politik kepegawaian.
Pemuka-pemuka daerah berpendapat bahwa Gubernur Kaharuddin Nasution terlalu
banyak memberikan kedudukan-kedudukan kunci kepada orang-orang yang dianggap
tidak mempunyai iktikad baik terhadap daerah Riau. Hal ini ditambah pula dengan
ditangkapnya Wakil Gubernur Dt. Wan Abdul Rachman yang difitnah ikut dalam
gerakan membentuk negara RPI (Republik Persatuan Indonesia), fitnahan ini
dilansir oleh PKI. Akibatnya Dt. Wan Abdurrachman diberhentikan dari jabatannya
dengan hak pensiun.
Kebangkitan Angkatan 66 dalam
memperjuangkan keadilan dan kebenaran di Riau bukanlah suatu gerakan
spontanitas tanpa sadar. Kebangkitan Angkatan 66 timbul dari suatu embrio
proses sejarah yang melanda Tanah Air. Konsep Nasakom Orde Lama menimbulkan
penyelewengan-penyelewengan dalam segala aspek kehidupan nasional.
Lembaga-lembaga Negara tidak berfungsi sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945.
Penetrasi proses Nasakomisasi ke dalam masyarakat Pancasilais menimbulkan
keretakan sosial dan menggoncangkan sistem-sistem nilai yang menimbulkan
situasi konflik. Di tambah lagi adanya konfrontasi dengan Malaysia yang
menyebabkan rakyat Riau sangat menderita karena kehidupan perekonomian antara
Riau dengan Malaysia menjadi terputus.
Demikianlah penderitaan,
konfrontasi dan kemelut berlangsung terus dan suasana semakin panas di Riau.
Menjelang meletusnya G 30 S/PKI kegiatan tokoh-tokoh PKI di Riau makin
meningkat. Mereka dengan berani secara langsung menyerang lawan-lawan
politiknya. Tokoh-tokoh PKI Riau Alihami Cs mempergunakan kesempatan dalam
berbagai forum untuk menghantam lawan-lawannya dan menonjolkan diri sebagai
pihak yang revolusioner. Begitu juga masyarakat Tionghoa yang berkewargaan
negara RRT memperlihatkan kegiatan-kegiatan yang luar biasa. Malam tanggal 30
September 1965 mereka yang tergabung dalam Baperki bersama-sama dengan PKI Riau
mengadakan konsolidasi dan Show of force dalam memperingati Hari Angkatan
Perang Republik Indonesia, jadi sehari mendahului waktu peringatan yang
sebenarnya. Tindakan selanjutnya; PKI beserta ormas-ormasnya memboikot sidang
pleno lengkap Front Nasional Riau yang langsung dipimpin oleh Gubernur
Kaharuddin Nasution pada tanggal 30 September 1965. Ternyata kegiatan dan
pergerakan PKI beserta ormas-ormasnya adalah untuk merebut pemerintahan yang
syah. Kondisi ini akhirnya bisa di akhiri, perjuangan generasi muda Riau tidak
sia-sia, rezim Orde Lama di Riau tamat sejarahnya dan Kolonel Arifin Achmad
diangkat sebagai care taker Gubernur/KDH Riau pada tanggal 16 Nopember 1966.
Mulai saat itu tertancaplah tonggak kemenangan Orde Baru di Riau.
Dengan diangkatnya Kolonel Arifin
Achmat sebagai care taker Gubernur Kepala Daerah Provinsi Riau terhitung mulai
tanggal 16 Oktober 1966 dengan surat keputusan Menteri Dalam Negeri No.
UP/4/43-1506. pelantikannya dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri Letnan Jenderal
Basuki rachmad dalam suatu sidang pleno DPR-GR Provinsi Riau pada tanggal 15
Nopember 1966. Kemudian pada tanggal 16 Februari 1967 DPRD-GR Provinsi Riau
mengukuhkan Kolonel Arifin Achmad sebagai Gubernur Riau dengan Surat Keputusan
Nomor 002/Kpts/67. Maka Menteri Dalam Negeri mengesyahkan pengangkatan Kolonel
Arifin Achmad sebagai Gubernur Kepala Derah Provinsi Riau untuk masa jabatan 5
tahun, dengan Surat Keputusan No. UP/6/1/36-260, tertanggal 24 Februari 1967. Surat
Keputusan tersebut diperbaharui dengan Surat Keputusan Presiden Repbulik
Indonesia Nomor : 146/M/1969 tertanggal 17 Nopember 1969.
Pascareformasi
Seiring dengan berhembusnya
“angin reformasi’ telah memberikan perubahan yang drastis terhadap negeri ini,
tidak terkecuali di Provinsi Riau sendiri. Salah satu perwujudannya adalah
dengan diberlakukannya pelaksanaan otonomi daerah yang mulai di laksanakan pada
tanggal 1 Januari 2001. Hal ini berimplikasi terhadap timbulnya daerah-daerah
baru di Indonesia, dari 27 Provinsi pada awalnya sekarang sudah menjadi 32
Provinsi. Tidak terkecuali Provinsi Riau, terhitung mulai tanggal 1 Juli 2004
Kepulauan Riau resmi menjadi provinsi ke-32 di Indonesia, itu berarti Provinsi
Riau yang dulunya terdiri dari 16 Kabupaten/Kota sekarang hanya menjadi 11
Kabupaten/Kota. Kabupaten-kabupaten tersebut adalah;
  • Kotamadya Pekanbaru ibukotanya
    Pekanbaru
  • Kotamadya Dumai ibukotanya Dumai
  • Kabupaten Indragiri Hulu
    ibukotanya Rengat
  • Kabupaten Kuantang Singingi
    ibukotanya Teluk Kuantan (pemekaran dari Kabupaten Indragiri Hulu)
  • Kabupaten Indragiri Hilir
    ibukotanya Tembilahan
  • Kabupaten Kampar ibukotanya
    Bangkinang
  • Kabupaten Pelalawan ibukotanya
    Pangkalan Kerinci (pemekaran dari Kabupaten Kampar)
  • Kabupaten Rokan Hulu ibukotanya
    Pasir Pengaraian (pemekaran dari Kabupaten Kampar)
  • Kabupaten Bengkalis ibukotanya
    Bengkalis
  • Kabupaten Siak ibukotanya Siak
    Sri Indrapura (pemekaran dari Kabupaten Bengkalis)
  • Kabupaten Rokan Hilir ibukotanya
    Bagan Siapi-api (pemekaran dari Kabupaten Bengkalis)
  • Kabupaten Kepulauan Meranti
    ibukotanya Selat Panjang (pemekaran dari Kabupaten Bengkalis)

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Metode Sosiometri Serta Blanko Sosiometri

Next Post

Latar Belakang Pembangunan Industri Dan Kebijakannya

Related Posts
Total
0
Share