Sejarah Kota Depok

DepokAwalnya Depok merupakan
sebuah dusun terpencil ditengah hutan belantara dan semak belukar. Pada tanggal
18 Mei 1696 seorang pejabat tinggi VOC, Cornelis Chastelein, membeli tanah yang
meliputi daerah Depok serta sedikit wilayah Jakarta Selatan, Ratujaya  dan Bojonggede.  Chastelein mempekerjakan sekitar seratusan
pekerja. Mereka didatangkan dari Bali, Makassar, Nusa Tenggara Timur, Maluku,
Jawa, Pulau Rote serta Filipina.
Selain mengelola perkebunan,
Cornelis juga menyebarluaskan agama Kristen kepada para pekerjanya, lewat
sebuah Padepokan Kristiani. Padepokan ini bernama De Eerste Protestante
Organisatie van Christenen, disingkat DEPOK. Dari sinilah rupanya nama kota ini
berasal.  Sampai saat ini, keturunan
pekerja-pekerja Cornelis dibagi menjadi 12 Marga
Tahun 1871 Pemerintah Belanda
mengizinkan daerah Depok membentuk Pemerintahan dan Presiden sendiri setingkat
Gemeente (Desa Otonom).
Keputusan tersebut berlaku sampai
tahun 1942.  Gemeente Depok diperintah
oleh seorang Presiden sebagai badan Pemerintahan tertinggi. Di bawah
kekeuasaannya terdapat kecamatan yang membawahi mandat (9 mandor) dan dibantu
oleh para Pencalang Polisi Desa serta Kumitir atau Menteri Lumbung.  Daerah teritorial Gemeente Depok meliputi
1.244 Ha, namun  dihapus pada tahun 1952
setelah terjadi perjanjian pelepasan hak antara Pemerintah RI dengan pimpinan
Gemeente Depok, tapi tidak termasuk tanah-tanah Elgendom dan beberapa hak
lainnya.
Sejak saat itu, dimulailah
pemerintahan kecamatan Depok yang berada dalam lingkungan Kewedanaan (Pembantu
Bupati) wilayah Parung, yang meliputi 21 Desa. Pada tahun 1976 melalui proyek
perumahan nasional di era Orde Baru, dibangunlah Perumnas Depok I dan Perumnas
Depok II. Pembangunan tersebut memicu perkembangan Depok yang lebih pesat
sehingga akhirnya pada tahun 1981 Pemerintah membentuk kota Administratif Depok
yang peresmiannya dilakukan tanggal 18 Maret 1982 oleh Menteri Dalam Negeri (H.
Amir Machmud).
Sejak tahun 1999, melalui UU
nomor 15 Tahun 1999 Tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Depok dan
Kotamadya Daerah Tingkat II Cilegon, Depok meningkat statusnya menjadi
Kotamadya atau Kota. Menurut Undang-Undang tersebut, wilayah Kotamadya daerah
Tingkat II Depok memiliki uas wilayah 20.504,54 Ha yang meliputi :
    Kecamatan Beji, terdiri dari 6 kelurahan
dengan luas wilayah 1614 Ha.
    Kecamatan Sukmajaya, terdiri dari 11
kelurahan dengan luas wilayah 3.398 Ha.
    Kecamatan Pancoran Mas, dengan pusat
pemerintahan berkedudukan dikelurahan Depok, terdiri dari 6 Kelurahan dan 6
Desa dengan jumlah penduduk 156.118 jiwa dan luas wilayah 2.671 Ha.
    Kecamatan Limo, terdiri dari 8 desa dengan
luas wilayah 2.595,3 Ha.
    Kecamatan Cimanggis, terdiri dari 1
kelurahan dan 12 desa dengan luas wilayah 5.077,3 Ha.
    Kecamatan Sawangan, terdiri dari 14 desa
dengan luas wilayah 4.673,8 Ha.
ASAL USUL PONDOK CINA
Dulu, Pondok Cina hanyalah
hamparan perkebunan dan semak-semak belantara yang bernama Kampung Bojong.  Awalnya hanya sebagai tempat transit
pedagang-pedagang Tionghoa yang hendak berjualan di Depok.  Lama kelamaan menjadi pemukiman, yang kini
padat sebagai akses utama Depok-Jakarta.
Kota Madya Depok (dulunya kota
administratif) dikenal sebagai penyangga ibukota.  Para penghuni yang mendiami wilayah Depok
sebagian besar berasal dari pindahan orang Jakarta.  Tak heran kalau dulu muncul pomeo singkatan
Depok : Daerah Elit Pemukiman Orang Kota. 
Mereka banyak mendiami perumahan nasional (Perumnas), membangun rumah
ataupun membuat pemukiman baru.
Pada akhir tahun 70-an masyarakat
Jakarta masih ragu untuk mendiami wilayah itu. 
Selain jauh dari pusat kota Jakarta, kawasan Depok masih sepi dan banyak
diliputi perkebunan dan semak belukar. 
Angkutan umum masih jarang, dan mengandalkan pada angkutan kereta
api.  Seiring dengan perkembangan zaman,
wajah Depok mulai berubah. Pembangunan di sana-sini gencar dilakukan oleh
pemerintah setempat.  Pusat hiburan
seperti Plaza, Mall telah berdiri megah. Kini Depok telah menyandang predikat
kotamadya dimana selama 17 tahun menjadi Kotif.
Sebagai daerah baru, Depok
menarik minat pedagang-pedagang Tionghoa untuk berjualan di sana. Namun
Cornelis Chastelein pernah membuat 
peraturan bahwa orang-orang Cina tidak boleh tinggal di kota Depok.  Mereka hanya boleh berdagang, tapi tidak
boleh tinggal.  Ini tentu menyulitkan
mereka.  Mengingat saat itu perjalanan
dari Depok ke Jakarta bisa memakan waktu setengah hari,  pedagang-pedagang tersebut membuat tempat
transit di luar wilayah Depok, yang bernama Kampung Bojong.  Mereka berkumpul dan mendirikan pondok-pondok
sederhana di sekitar wilayah tersebut. 
Dari sini mulai muncul nama Pondok Cina.
Menurut cerita H. Abdul Rojak,
sesepuh masyarakat sekitar Pondok Cina, daerah Pondok Cina dulunya bernama
Kampung Bojong. “Lama-lama daerah ini disebut Kampung Pondok Cina.  Sebutan ini berawal ketika orang-orang
keturunan Tionghoa datang untuk berdagang ke pasar Depok. Pedagang-pedagang itu
datang menjelang matahari terbenam. 
Karena sampainya malam hari, mereka istirahat dahulu dengan membuat
pondok-pondok sederhana,” ceritanya. Kebetulan, lanjut Rojak, di daerah
tersebut ada seorang tuan tanah keturunan Tionghoa.  Akhirnya mereka semua di tampung dan
dibiarkan mendirikan pondok di sekitar tanah miliknya. Lalu menjelang subuh
orang-orang keturunan Tionghoa tersebut bersiap-siap untuk berangkat ke pasar
Depok.”
Kampung Bojong berubah nama
menjadi kampung Pondok Cina pada tahun 1918. 
Masyarakat sekitar daerah tersebut selalu menyebut kampung Bojong dengan
sebutan Pondok Cina.  Lama-kelamaan nama
Kampung Bojong hilang dan timbul sebutan Pondok Cina sampai sekarang.  Masih menurut cerita, Pondok Cina dulunya
hanya berupa hutan karet dan sawah.  Yang
tinggal di daerah tersebut hanya berjumlah lima kepala keluarga, itu pun
semuanya orang keturunan Tionghoa. 
Selain berdagang ada juga yang bekerja sebagai petani di sawah
sendiri.  Sebagian lagi bekerja di ladang
kebun karet milik tuan tanah orang-orang Belanda.  Semakin lama, beberapa kepala keluarga itu
pindah ke tempat lain.  Tak diketahui
pasti apa alasannya. Yang jelas, hanya sisa satu orang keluarga di sana.  Hal ini dikatakan oleh Ibu Sri, generasi
kelima dari keluarga yang sampai kini masih tinggal di Pondok Cina.
“Saya sangat senang tinggal
disini, karena di sini aman, tidak seperti di tempat lain,”.  Dulunya, cerita Sri, penduduk di Pondok Cina
sangat sedikit.  Itupun masih terbilang
keluarga semua. “Mungkin karena Depok berkembang, daerah ini jadi ikut ramai,”
kenangnya. Satu-persatu keluarganya mulai pindah ke tempat lain.
“Tinggal saya sendiri yang masih
bertahan disini,” kata ibu Sri lagi. 
Sekarang daerah Pondok Cina sudah semakin padat.  Ditambah lagi dengan berdirinya kampus UI
Depok pada pertengahan 80-an, di kawasan ini banyak berdiri rumah kost bagi
mahasiswa. Toko-toko pun menjamur di sepanjang jalan Margonda Raya yang
melintasi daerah Pondok Cina ini.  Bahkan
pada jam-jam berangkat atau pulang kerja, jalan Margonda terkesan semrawut.
Maklum, karena itu tadi, pegawai maupun karyawan yang tinggal di Depok mau tak
mau harus melintas di Pondok Cina.
ASAL USUL MARGONDA

Margonda yang kini menjadi nama
jalan protokol dan pusat bisnis di Depok itu tidak diketahui persis asal
muasalnya. Konon, nama itu berasal dari nama seorang pahlawan yang bernama
Margonda. Keluarga yang mengklaim sebagai anak keturunan Margonda sendiri (di
Cipayung, Depok) sampai sekarang belum dapat memberikan informasi mengenai
sepak terjang atau lokasi makam Margonda. Yang jelas, nama Margonda kini
identik dengan Depok. Sebut saja “Margonda”, maka pasti orang akan
mengasosiasikannya dengan “Depok”, beserta segala hiruk-pikuk aktivitasnya yang
kian terus berkembang.
Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Contoh Pembawa Acara Mc Saat Walimah/Tsyukuran

Next Post

Burung murai batu (copsychus malabaricus)

Related Posts
Total
0
Share