• slot gacor 2024slot danasigma168
  • Sejarah Kota Banda Aceh - kktara.com

    Sejarah Kota Banda Aceh

    Provinsi Aceh atau yang pernah
    dikenal sebagai Nanggröe Aceh Darussalam memiliki sejarah yang panjang dan terutama
    dikaitkan dengan sejarah kerajaan-kerajaan Islam yang pernah ada di kawasan
    tersebut.
    Era Malik Al Saleh
    Sebelum Dinasti Usmaniyah di
    Turki berdiri pada tahun 699 H-1341 H atau bersamaan dengan tahun 1385 M-1923
    M, ternyata nun jauh di belahan dunia sebelah timur, di dunia bagian Asia,
    telah muncul Kerajaan Islam Samudera-Pasai yang berada di wilayah Aceh yang
    didirikan oleh Meurah Silu (Meurah berarti Maharaja dalam bahasa Aceh) yang
    segera berganti nama setelah masuk Islam dengan nama Malik al-Saleh yang
    meninggal pada tahun 1297. Dimana penggantinya tidak jelas, namun pada tahun
    1345 Samudera-Pasai diperintah oleh Malik Al Zahir, cucu daripada Malik
    al-Saleh.
    Samudera Pasai
    Lahirnya Kerajaan Islam Samudera
    Pasai
    Kedaulatan kerajaan Sriwijaya
    (684 M- 1377 M) dibawah dinasti Syailendra dengan rajanya yang pertama
    Balaputera Dewa, yang berpusat di Palembang, Sumatera Selatan makin kuat dan
    daerahnya semakin meluas, setelah daerah kerajaan Melayu; Tulang Bawang, Pulau
    Bangka, Jambi, Genting Kra dan daerah Jawa Barat didudukinya. Ketika Sriwijaya
    sedang mencapai puncak kekuatannya, ternyata mengundang raja Rajendra Chola
    dari Chola di India selatan tidak bisa menahan nafsu serakahnya, maka pada
    tahun 1023 lahirlah serangan dari raja India selatan ini kepada Sriwijaya.
    Dalam pertempuran, dinasti
    Syailendra tidak mampu menahan serangan tentara India selatan ini, raja
    Sriwijaya ditawannya dan tentara Chola dari India selatan ini kembali ke
    negerinya. Walaupun Sriwijaya bisa dilumpuhkan, tetapi tetap kerajaan Buddha
    ini hidup sampai pada tahun 1377. Disaat-saat Sriwijaya ini lemah, muncullah
    kerajaan Islam Samudera-Pasai di Aceh dengan rajanya Malik Al Saleh dan
    diteruskan oleh cucunya Malik Al Zahir.
    Politik Samudera Pasai
    bertentangan dengan Politik Gajah Mada
    Gajah Mada yang diangkat sebagai
    patih di Kahuripan (1319-1321) oleh raja Jayanegara dari Majapahit. Dan pada
    tahun 1331, naik pangkat Gajah Mada menjadi mahapatih Majapahit yang diangkat
    oleh raja Tribuana Tunggadewi.
    Ketika pelantikan Gajah Mada
    menjadi mahapatih Majapahit inilah keluar ucapannya yang disebut dengan sumpah
    palapa yang berisikan “dia tidak akan menikmati palapa sebelum seluruh
    Nusantara berada dibawah kekuasaan kerajaan Majapahit”. Ternyata dengan dasar
    sumpah palapanya inilah Gajah Mada merasa tidak senang ketika mendengar dan
    melihat bahwa Samudera Pasai di Aceh makin berkembang dan maju. Pada tahun 1350
    Majapahit ingin menggempur Samudera Pasai, tetapi Majapahit tidak pernah
    mencapai kerajaan Samudra Pasai karena di hadang askar Sriwijaya. Selama 27
    tahun Majapahit dendam terhadap kerajaan Sriwijaya dan kemudian pada tahun 1377
    giliran Sriwijaya digempurnya, sehingga habislah riwayat Sriwijaya sebagai
    negara Budha yang berpusat di Palembang ini.
    Era Sultan Iskandar Muda
    Aceh merupakan negeri yang amat
    kaya dan makmur pada masa kejayaannya. Menurut seorang penjelajah asal Perancis
    yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa
    Alam, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau, Sumatera Timur, hingga
    Perak di semenanjung Malaysia.
    Aceh merupakan salah satu bangsa
    di pulau Sumatra yang memiliki tradisi militer, dan pernah menjadi bangsa
    terkuat di Selat Malaka, yang meliputi wilayah Sumatra dan Semenanjung Melayu,
    ketika dibawah kekuasaan Iskandar Muda.
    Sultan Iskandar Muda kemudian
    menikah dengan seorang putri dari Kesultanan Pahang. Putri ini dikenal dengan
    nama Putroe Phang. Konon, karena terlalu cintanya sang Sultan dengan istrinya,
    Sultan memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman Istana)
    sebagai tanda cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam
    rindu yang amat sangat terhadap kampung halamannya yang berbukit-bukit. Oleh
    karena itu Sultan membangun Gunongan untuk mengubati rindu sang puteri. Hingga
    saat ini Gunongan masih dapat disaksikan dan dikunjungi.
    Aceh melawan Portugis
    Ketika kerajaan Islam Samudera
    Pasai dalam krisis, maka kerajaan Islam Malaka yang muncul dibawah Parameswara
    (Paramisora) yang berganti nama setelah masuk Islam dengan panggilan Iskandar
    Syah. Kerajaan Islam Malaka ini maju pesat sampai pada tahun 1511 ketika
    Portugis dibawah pimpinan Albuquerque dengan armadanya menaklukan Malaka.
    Ketika Malaka jatuh ke tangan
    Portugis, kembali Aceh bangkit dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah
    (1514-1528). Yang diteruskan oleh Sultan Salahuddin (1528-1537). Sultan
    Alauddin Riayat Syahal Kahar (1537-1568). Sultan Ali Riyat Syah (1568-1573).
    Sultan Seri Alam (1576. Sultan Muda (1604-1607). Sultan Iskandar Muda, gelar
    marhum mahkota alam (1607-1636). Semua serangan yang dilancarkan pihak Portugis
    dapat ditangkisnya.
    Pada abad ke-16, Ratu Inggris
    yang paling berjaya Elizabeth I sang Perawan, mengirim utusannya bernama Sir
    James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan pula mengirim surat bertujuan “Kepada
    Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam”, serta seperangkat perhiasan yang tinggi
    nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik “saudarinya” di Inggeris
    dan mengizinkan Inggris untuk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh.
    Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah yang amat berharga termasuk sepasang
    gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis di atas kertas yang halus dengan
    tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar “Orang Kaya Putih”. Hubungan yang
    misra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggris
    dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan
    Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam
    Raja James.
    Selain Kerajaan Inggris, Pangeran
    Maurits -pendiri dinasti Oranje- juga pernah mengirim surat dengan maksud
    meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka
    dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin
    oleh Tuanku Abdul Hamid. Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia
    pertama yang singgah di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit
    dan akhirnya meninggal dunia. Ia dimakamkan secara besar-besaran di Belanda
    dengan dihadiri ileh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda
    belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara agama
    nasrani di pekarangan sebuah Gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah
    prasasti yang dirasmikan oleh Mendinag Yang Mulia Pangeran Bernard suami
    menidiang Ratu Juliana dan Ayahanda Yang Maha Mulia Ratu Beatrix.
    Pada masa Iskandar Muda, Kerajaan
    Aceh mengirim utusannya untuk menghadap sultan Empayar Turki Uthmaniyyah yang
    berkedudukan di Konstantinompel. Kerana saat itu, sultan Turki Uthmaniyyah
    sedang gering maka utusan kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lamanya
    sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk
    kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang
    Sultan, persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun
    sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan
    beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh.
    Meriam tersbut pula masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak.
    Pada masa selanjutnya sultan Turki Uthmaniyyah mengirimkan sebuha bintang jasa
    kepada Sultan Aceh.
    Kerajaan Aceh pula menerima
    kunjungan utusan Diraja Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula
    bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang amat berharga bagi Sultan Aceh.
    Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan
    seripah cermin tersbut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya Danis
    Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskanda Muda amat menggemari benda-benda
    berharga. Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan melayu
    yang memiliki Bale Ceureumin atau Hall of Mirror di dalam Istananya. Menurut
    Utusan Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari 2
    kilometer. Istana tersbut bernama Istana Dalam Darud Dunya. Didalamnya meliputi
    Medan Khayali dan medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah.
    Sultan Iskandar muda juga memerintahkan untuk memindahkan aliran sungai Krueng
    Aceh hingga mengaliri istananya. Disanalah sultan acap kali berenang sambil
    menjamu tetamu-tetamunya.
    Kerajaan Aceh sepeninggal Sultan
    Iskandar Thani mengalami kemunduran yang terus menerus. Hal ini disebabkan
    kerana naiknya 4 Sultanah berturut-turut sehingga membangkitkan amarah kaum
    Ulama Wujudiyah. Padahal, Seri Ratu Safiatudin Seri Ta’jul Alam Syah Berdaulat
    Zilullahil Filalam yang merupakan Sultanah yang pertama adalah seorang wanita
    yang amat cakap. Ia merupakan puteri Sultan Iskandar Muda dan Isteri Sultan
    Iskandar Thani. Ia pula menguasai 6 bahasa, Spanyol, Belanda, Aceh, Melayu,
    Arab, dan Parsi. Saat itu di dalam Parlemen Aceh yang beranggotakan 96an orang,
    1/4 diantaranya adalah wanita. Perlawanan kaum ulama Wujudiyah berlanjut hingga
    datang fatwa dari Mufti Besar Mekkah yang menyatakan keberatannya akan seorang
    Wanita yang menjadi Sultanah. Akhirnya berakhirlah masa kejayaan wanita di
    Aceh.
    Pada masa perang dengan Belanda,
    Kesultanan aceh sempat meminta bantuan kepada perwakilan Amerika Serikta di
    Singapura yang disinggahi Panglima Tibang Muhammad dalam perjalanannya menuju
    Pelantikan Kaisar Napoleon III di Perancis. Aceh juga mengirim Habib Abdurrahman
    untuk meminta bantuan kepada Empayar Turki Uthmaniyyah. Namun Empayar Turki
    Uthmaniyyah kala itu sudah mengalami masa kemunduran. Sedangkan Amerika menolak
    campur tangan dalam urusan Aceh dan Belanda.
    Hubungan dengan Barat
    Inggris
    Pada abad ke-16, Ratu Inggris,
    Elizabeth I, mengirimkan utusannya bernama Sir James Lancester kepada Kerajaan
    Aceh dan mengirim surat yang ditujukan: “Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh
    Darussalam.” serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala
    itu menerima maksud baik “saudarinya” di Inggris dan mengizinkan Inggris untuk
    berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim
    hadiah-hadiah yang berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat
    yang ditulis di atas kertas yang halus dengan tinta emas. Sir James pun
    dianugerahi gelar “Orang Kaya Putih”.
    Sultan Aceh pun membalas surat
    dari Ratu Elizabeth I. Berikut cuplikan isi surat Sultan Aceh, yang masih
    disimpan oleh pemerintah kerajaan Inggris, tertanggal tahun 1585:
    I am the mighty ruler of the
    Regions below the wind, who holds sway over the land of Aceh and over the land
    of Sumatra and over all the lands tributary to Aceh, which stretch from the
    sunrise to the sunset.
    (Hambalah sang penguasa perkasa
    Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh dan atas tanah
    Sumatra dan atas seluruh wilayah wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang
    terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam).
    Hubungan yang mesra antara Aceh
    dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggris dan Skotlandia.
    Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam
    tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja James.
    Belanda
    Selain Kerajaan Inggris, Pangeran
    Maurits – pendiri dinasti Oranje– juga pernah mengirim surat dengan maksud
    meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka
    dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin
    oleh Tuanku Abdul Hamid. Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia
    pertama yang singgah di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit
    dan akhirnya meninggal dunia. Ia dimakamkan secara besar-besaran di Belanda
    dengan dihadiri oleh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda
    belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara agama
    Nasrani di pekarangan sebuah gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah
    prasasti yang diresmikan oleh Mendiang Yang Mulia Pangeran Bernhard suami
    mendiang Ratu Juliana dan Ayahanda Yang Mulia Ratu Beatrix.
    Ottoman
    Pada masa Iskandar Muda, Kerajaan
    Aceh mengirim utusannya untuk menghadap Sultan Kekaisaran Ottoman yang
    berkedudukan di Konstantinopel. Karena saat itu Sultan Ottoman sedang gering
    maka utusan Kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lamanya sehingga mereka
    harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup
    mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan
    mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan
    menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang
    cakap dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersebut pula
    masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa
    selanjutnya Sultan Ottoman mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Aceh.
    Perancis
    Kerajaan Aceh juga menerima
    kunjungan utusan Kerajaan Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula
    bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang sangat berharga bagi Sultan Aceh.
    Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan serpihan
    cermin tersebut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya, Danis Lombard
    mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda amat menggemari benda-benda berharga.
    Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan Melayu yang
    memiliki Balee Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut Utusan
    Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari dua
    kilometer. Istana tersebut bernama Istana Dalam Darud Donya (kini Meuligo Aceh,
    kediaman Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan Khayali dan Medan Khaerani yang
    mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar Muda juga memerintahkan
    untuk memindahkan aliran Sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istananya (sungai
    ini hingga sekarang masih dapat dilihat, mengalir tenang di sekitar Meuligoe).
    Di sanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.
    Pasca-Sultan Iskandar Thani
    Kerajaan Aceh sepeninggal Sultan
    Iskandar Thani mengalami kemunduran yang terus menerus. Hal ini disebabkan
    kerana naiknya empat Sultanah berturut-turut sehingga membangkitkan amarah kaum
    Ulama Wujudiyah. Padahal, Seri Ratu Safiatudin Seri Ta’jul Alam Syah Berdaulat
    Zilullahil Filalam yang merupakan Sultanah yang pertama adalah seorang wanita
    yang amat cakap. Ia merupakan puteri Sultan Iskandar Muda dan Isteri Sultan
    Iskandar Thani. Ia pula menguasai 6 bahasa, Spanyol, Belanda, Aceh, Melayu,
    Arab, dan Parsi. Saat itu di dalam Parlemen Aceh yang beranggotakan 96 orang,
    1/4 di antaranya adalah wanita. Perlawanan kaum ulama Wujudiyah berlanjut
    hingga datang fatwa dari Mufti Besar Mekkah yang menyatakan keberatannya akan
    seorang wanita yang menjadi Sultanah. Akhirnya berakhirlah masa kejayaan wanita
    di Aceh.

    Datangnya pihak kolonial
    Kesultanan Aceh terlibat
    perebutan kekuasaan yang berkepanjangan sejak awal abad ke-16, pertama dengan
    Portugal, lalu sejak abad ke-18 dengan Britania Raya (Inggris) dan Belanda.
    Pada akhir abad ke-18, Aceh terpaksa menyerahkan wilayahnya di Kedah dan Pulau
    Pinang di Semenanjung Melayu kepada Britania Raya.
    Pada tahun 1824, Perjanjian
    Britania-Belanda ditandatangani, di mana Britania menyerahkan wilayahnya di
    Sumatra kepada Belanda. Pihak Britania mengklaim bahwa Aceh adalah koloni
    mereka, meskipun hal ini tidak benar. Pada tahun 1871, Britania membiarkan
    Belanda untuk menjajah Aceh, kemungkinan untuk mencegah Perancis dari
    mendapatkan kekuasaan di kawasan tersebut.
    Perang Aceh
    Artikel utama untuk bagian ini
    adalah: Perang Aceh
    Tahun 1873 pecah perang Aceh
    melawan Belanda. Perang Aceh disebabkan karena:
        Belanda menduduki daerah Siak. Akibat dari
    perjanjian Siak 1858. Dimana Sultan Ismail menyerahkan daerah Deli, Langkat,
    Asahan dan Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan
    Iskandar Muda ada dibawah kekuasaan Aceh.
        Belanda melanggar Siak, maka berakhirlah
    perjanjian London (1824). Dimana isi perjanjian London adalah Belanda dan
    Inggris membuat ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia
    Tenggara yaitu dengan garis lintang Sinagpura. Keduanya mengakui kedaulatan
    Aceh.
        Aceh menuduh Belanda tidak menepati
    janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat perairan Aceh ditenggelamkan
    Aceh. Perbuatan Aceh ini disetujui Inggris, karena memang Belanda bersalah.
        Di bukanya terusan Suez oleh Ferdinand de
    Lessep. Menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalulintas
    perdagangan.
        Dibuatnya Perjanjian Sumatera 1871 antara
    Inggris dan Belanda, yang isinya, Inggris memberika keleluasaan kepada Belanda
    untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di
    Selat Sumatera. Belanda mengizinkan Inggris bebas berdagang di Siak dan
    menyerahkan daerahnya di Guinea Barat kepada Inggris.
        Akibat perjanjian Sumatera 1871, Aceh
    mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika, Italia, Turki di
    Singapura. Dan mengirimkan utusan ke Turki 1871.
        Akibat hubungan diplomatik Aceh dengan
    Konsul Amerika, Italia dan Turki di Singapura, Belanda menjadikan itu sebagai
    alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Nieuwenhuyzen dengan 2
    kapal perangnya datang ke Aceh dan meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah
    tengtang apa yang sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud
    menolak untuk memberikan keterangan.
    Belanda menyatakan perang
    terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik.
    Sebuah ekspedisi dengan 3.000 serdadu yang dipimpin Mayor Jenderal Köhler
    dikirimkan pada tahun 1874, namun dikalahkan tentara Aceh, di bawah pimpinan
    Panglima Polem dan Sultan Machmud Syah, yang telah memodernisasikan senjatanya.
    Köhler sendiri berhasil dibunuh pada tanggal 10 April 1873.
    Ekspedisi kedua di bawah pimpinan
    Jenderal van Swieten berhasil merebut istana sultan. Ketika Sultan Machmud Syah
    wafat 26 Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawot yang dinobatkan
    sebagai Sultan di masjid Indragiri. Pada 13 Oktober 1880, pemerintah kolonial
    menyatakan bahwa perang telah berakhir. Bagaimanapun, perang dilanjutkan secara
    gerilya dan perang fi’sabilillah dikobarkan, di mana sistem perang gerilya ini
    dilangsungkan sampai tahun 1904.
    Pada masa perang dengan Belanda,
    Kesultanan Aceh sempat meminta bantuan kepada perwakilan Amerika Serikat di
    Singapura yang disinggahi Panglima Tibang Muhammad dalam perjalanannya menuju
    Pelantikan Kaisar Napoleon III di Perancis. Aceh juga mengirim Habib
    Abdurrahman untuk meminta bantuan kepada Kekaisaran Ottoman. Namun Kekaisaran
    Ottoman kala itu sudah mengalami masa kemunduran. Sedangkan Amerika menolak
    campur tangan dalam urusan Aceh dan Belanda.
    Perang kembali berkobar pada
    tahun 1883. Pasukan Belanda berusaha membebaskan para pelaut Britania yang sedang
    ditawan di salah satu wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh, dan menyerang kawasan
    tersebut. Sultan Aceh menyerahkan para tawanan dan menerima bayaran yang cukup
    besar sebagai gantinya. Sementara itu, Menteri Perang Belanda, Weitzel, kembali
    menyatakan perang terbuka melawan Aceh. Belanda kali ini meminta bantuan para
    pemimpin setempat, di antaranya Teuku Umar. Teuku Umar diberikan gelar panglima
    perang besar dan pada 1 Januari 1894 bahkan menerima dana bantuan Belanda untuk
    membangun pasukannya. Ternyata dua tahun kemudian Teuku Umar malah menyerang
    Belanda dengan pasukan baru tersebut. Dalam perang gerilya ini Teuku Umar
    bersama Panglima Polem dan Sultan terus tanpa pantang mundur. Tetapi pada tahun
    1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van Der Dussen di Meulaboh
    Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nya’ Dien istri Teuku Ummar siap tampil menjadi
    komandan perang gerilya.
    Pada 1892 dan 1893, pihak Belanda
    menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh. Dr. Snoeck Hurgronje, seorang
    ahli Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan
    dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran kepada Belanda agar
    serangan mereka diarahkan kepada para ulama, bukan kepada sultan. Saran ini
    ternyata berhasil. Dr Snouck Hurgronye yang menyamar selama 2 tahun di
    pedalaman Aceh untuk meneliti kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh. Hasil
    kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh ( De Acehers). Dalam buku itu
    disebutkan rahasia bagaimana untuk menaklukkan Aceh.
    Isi nasehat Snouck Hurgronye
    kepada Gubernur Militer Belanda yang bertugas di Aceh adalah:
        Mengesampingkan golongan Keumala (yaitu
    Sultan yang berkedudukan di Keumala) beserta pengikutnya.
        Senantiasa menyerang dan menghantam kaum
    ulama.
        Jangan mau berunding dengan para pimpinan
    gerilya.
        Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya.
        Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat
    Aceh, dengan cara mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi
    dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.
    Pada tahun 1898, J.B. van Heutsz
    dinyatakan sebagai gubernur Aceh pada 1898-1904, kemudian Dr Snouck Hurgronye
    diangkat sebagai penasehatnya, dan bersama letnannya, Hendrikus Colijn (kelak
    menjadi Perdana Menteri Belanda), merebut sebagian besar Aceh.
    Sultan M. Daud akhirnya
    meyerahkan diri kepada Belanda pada tahun 1903 setelah dua istrinya, anak serta
    ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya
    jatuh seluruhnya pada tahun 1904. Istana Kesultanan Aceh kemudian di
    luluhlantakkan dan diganti dengan bangunan baru yang sekarang dikenal dengan
    nama Pendopo Gubernur. Pada tahun tersebut, hampir seluruh Aceh telah direbut
    Belanda.
    Taktik perang gerilya Aceh ditiru
    oleh Van Heutz, dimana dibentuk pasukan marsuse yang dipimpin oleh Christoffel
    dengan pasukan Colone Macannya yang telah mampu dan menguasai
    pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh untuk mencari dan mengejar
    gerilyawan-gerilyawan Aceh.
    Taktik berikutnya yang dilakukan
    Belanda adalah dengan cara penculikan anggota keluarga Gerilyawan Aceh.
    Misalnya Christoffel menculik permaisuri Sultan dan Tengku Putroe (1902). Van
    Der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim. Akibatnya, Sultan menyerah
    pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli dan berdamai. Van Der Maaten dengan
    diam-diam menyergap Tangse kembali, Panglima Polem dapat meloloskan diri,
    tetapi sebagai gantinya ditangkap putera Panglima Polem, Cut Po Radeu saudara
    perempuannya dan beberapa keluarga terdekatnya. Akibatnya Panglima Polem
    meletakkan senjata dan menyerah ke Lo’ Seumawe (1903). Akibat Panglima Polem
    menyerah, banyak penghulu-penghulu rakyat yang menyerah mengikuti jejak
    Panglima Polem.
    Taktik selanjutnya, pembersihan
    dengan cara membunuh rakyat Aceh yang dilakukan dibawah pimpinan Van Daalen
    yang menggantikan Van Heutz. Seperti pembunuhan di Kuta Reh (14 Juni 1904)
    dimana 2922 orang dibunuhnya, yang terdiri dari 1773 laki-laki dan 1149
    perempuan.
    Taktik terakhir menangkap Cut
    Nya’ Dien istri Teuku Umar yang masih melakukan perlawanan secara gerilya,
    dimana akhirnya Cut Nya’ Dien dapat ditangkap dan diasingkan ke Sumedang, Jawa
    Barat.
    Surat Perjanjian Pendek Tanda
    Menyerah Ciptaan Van Heutz
    Van Heutz telah menciptakan surat
    pendek penyerahan yang harus ditandatangani oleh para pemimpin Aceh yang telah
    tertangkap dan menyerah. Dimana isi dari surat pendek penyerahan diri itu
    berisikan, Raja (Sultan) mengakui daerahnya sebagai bagian dari daerah Hindia
    Belanda. Raja berjanji tidak akan mengadakan hubungan dengan kekuasaan di luar
    negeri. Berjanji akan mematuhi seluruh perintah-perintah yang ditetapkan
    Belanda. (RH Saragih, J Sirait, M Simamora, Sejarah Nasional, 1987)
    Bangkitnya Nasionalisme
    Sementara pada masa kekuasaan
    Belanda, bangsa Aceh mulai mengadakan kerjasama dengan wilayah-wilayah lain di
    Indonesia dan terlibat dalam berbagai gerakan nasionalis dan politik. Sarekat
    Islam, sebuah organisasi dagang Islam yang didirikan di Surakarta pada tahun
    1912, tiba di Aceh pada sekitar tahun 1917. Ini kemudian diikuti organisasi
    sosial Muhammadiyah pada tahun 1923. Muhammadiyah membangun sebuah sekolah
    Islam di Kutaraja (kini bernama Banda Aceh) pada tahun 1929. Kemudian pada
    tahun 1939, Partai Indonesia Raya (Parindra) membukan cabangnya di Aceh,
    menjadi partai politik pertama di sana. Pada tahun yang sama, para ulama
    mendirikan PUSA(Persatuan Ulama Seluruh Aceh), sebuah organisasi anti-Belanda.
    Perang Dunia II
    Aceh kian hari kian terlibat
    dalam gerakan nasionalis Indonesia. Saat Volksraad (parlemen) dibentuk, Teuku
    Nyak Arif terpilih sebagai wakil pertama dari Aceh. (Nyak Arif lalu dilantik
    sebagai gubernur Aceh oleh gubernur Sumatra pertama, Moehammad Hasan).
    Seperti banyak penduduk Indonesia
    dan Asia Tenggara lainnya, rakyat Aceh menyambut kedatangan tentara Jepang saat
    mereka mendarat di Aceh pada 12 Maret 1942, karena Jepang berjanji membebaskan
    mereka dari penjajahan. Namun ternyata pemerintahan Jepang tidak banyak berbeda
    dari Belanda. Jepang kembali merekrut para uleebalang untuk mengisi jabatan
    Gunco dan Sunco (kepala adistrik dan subdistrik). Hal ini menyebabkan kemarahan
    para ulama, dan memperdalam perpecahan antara para ulama dan uleebalang.
    Pemberontakan terhadap Jepang pecah di beberapa daerah, termasuk di Bayu, dekat
    Lhokseumawe, pada tahun 1942, yang dipimpin Teungku Abdul Jalil, dan di
    Pandrah, Jeunieb, pada tahun 1944.
    Masa Republik Indonesia
    Aceh Tidak Termasuk Anggota
    Negara-negara Bagian RIS
    41 tahun kemudian semenjak
    selesainya perang Aceh, Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno pada tanggal 17
    Agustus 1945. Ternyata perjuangan untuk bebas dari cengkraman Belanda belum
    selesai, sebelum Van Mook menciptakan negara-negara bonekanya yang tergabung
    dalam RIS (Republik Indonesia Serikat).
    Dimana ternyata Aceh tidak
    termasuk negara bagian dari federal hasil ciptaan Van Mook yang meliputi
    seluruh Indonesia yaitu yang terdiri dari: ~ Negara RI, yang meliputi daerah
    status quo berdasarkan perjanjian Renville. ~ Negara Indonesia Timur. ~ Negara
    Pasundan, termasuk Distrik Federal Jakarta ~ Negara Jawa Timur ~ Negara Madura
    ~ Negara Sumatra Timur, termasuk daerah status quo Asahan Selatan dan Labuhan
    Batu ~ Negara Sumatra Selatan ~ Satuan-satuan kenegaraan yang tegak sendiri,
    seperti Jawa Tengah, Bangka-Belitung, Riau, Daerah Istimewa Kalimantan Barat,
    Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara dan Kalimantan Timur. ~
    Daerah.daerah Indonesia selebihnya yang bukan daerah-daerah bagian.
    Yg terpilih menjadi Presiden RIS
    adalah Soekarno dalam sidang Dewan Pemilihan Presiden RIS pada tanggal 15-16
    Desember 1949. Pada tanggal 17 Desember 1949 Presiden Soekarno dilantik menjadi
    Presiden RIS. Sedang untuk jabatan Perdana Menteri diangkat Mohammad Hatta.
    Kabinet dan Perdana Menteri RIS dilantik pada tanggal 20 Desember 1949.
    Pengakuan Belanda Kepada
    Kedaulatan RIS Tanpa Aceh
    Belanda dibawah Ratu Juliana,
    Perdana Menteri Dr. Willem Drees, Menteri Seberang Lautnan Mr AMJA Sassen dan
    ketua Delegasi RIS Moh Hatta membubuhkan tandatangannya pada naskah pengakuan
    kedaulatan RIS oleh Belanda dalam upacara pengakuan kedaulatan RIS pada tanggal
    27 Desember 1949. Pada tanggal yang sama, di Yogyakarta dilakukan penyerahan
    kedaulatan RI kepada RIS. Sedangkan di Jakarta pada hari yang sama, Sri Sultan
    Hamengkubuwono IX dan Wakil Tinggi Mahkota AHJ Lovink dalam suatu upacara
    bersama-sama membubuhkan tandangannya pada naskah penyerahan kedaulatan. (30
    Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986)
    Kembali Ke Negara Kesatuan
    Republik Indonesia
    Tanggal 8 Maret 1950 Pemerintah
    RIS dengan persetujuan Parlemen (DPR) dan Senat RIS mengeluarkan Undang-Undang
    Darurat No 11 tahun 1950 tentang Tata Cara Perubahan Susunan Kenegaraan RIS.
    Berdasarkan Undang-Undang Darurat itu, beberapa negara bagian menggabungkan ke
    RI, sehingga pada tanggal 5 April 1950 yang tinggal hanya tiga negara bagian
    yaitu, RI, NST (Negara Sumatera Timur), dan NIT (Negara Indonesia Timur).
    Pada tanggal 14 Agustus 1950
    Parlemen dan Senat RIS mengesahkan Rancangan Undang-Undang Dasar Sementara
    Negara Kesatuan Republik Indonesia hasil panitia bersama.
    Pada rapat gabungan Parlemen dan
    Senat RIS pada tanggal 15 Agustus 1950, Presiden RIS Soekarno membacakan piagam
    terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada hari itu juga Presiden
    Soekarno kembali ke Yogya untuk menerima kembali jabatan Presiden RI dari
    Pemangku Sementara Jabatan Presiden RI Mr. Asaat. (30 Tahun Indonesia Merdeka,
    1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986)
    Maklumat Negara Islam Indonesia
    Aceh oleh Daud Beureueh
    3 tahun setelah RIS bubar dan
    kembali menjadi RI, Daud Beureueh di Aceh memaklumatkan Negara Islam Indonesia
    di bawah Imam SM Kartosoewirjo pada tanggal 20 September 1953.
    Isi Maklumat NII di Aceh adalah:
    Dengan Lahirnja Peroklamasi Negara Islam Indonesia di Atjeh dan daerah
    sekitarnja, maka lenjaplah kekuasaan Pantja Sila di Atjeh dan daerah
    sekitarnja, digantikan oleh pemerintah dari Negara Islam.
    Dari itu dipermaklumkan kepada
    seluruh Rakjat, bangsa asing, pemeluk bermatjam2 Agama, pegawai negeri, saudagar
    dan sebagainja:
        Djangan menghalang2i gerakan Tentara Islam
    Indonesia, tetapi hendaklah memberi bantuan dan bekerdja sama untuk menegakkan
    keamanan dan kesedjahteraan Negara.
        Pegawai2 Negeri hendaklah bekerdja terus
    seperti biasa, bekerdjalah dengan sungguh2 supaja roda pemerintahan terus
    berdjalan lantjar.
        Para saudagar haruslah membuka toko,
    laksanakanlah pekerdjaan itu seperti biasa, Pemerintah Islam mendjamin keamanan
    tuan2.
        Rakjat seluruhnja djangan mengadakan
    Sabotage, merusakkan harta vitaal, mentjulik, merampok, menjiarkan kabar
    bohong, inviltratie propakasi dan sebagainja jang dapat mengganggu keselamatan
    Negara. Siapa sadja jang melakukan kedjahatan2 tsb akan dihukum dengan hukuman
    Militer.
        Kepada tuan2 bangsa Asing hendaklah tenang
    dan tentram, laksanakanlah kewadjiban tuan2 seperti biasa keamanan dan
    keselamatan tuan2 didjamin.
        Kepada tuan2 yang beragama selain Islam
    djangan ragu2 dan sjak wasangka, jakinlah bahwa Pemerintah N.I.I. mendjamin
    keselamatan tuan2 dan agama jang tuan peluk, karena Islam memerintahkan untuk
    melindungi tiap2 Umat dan agamanja seperti melindungi Umat dan Islam sendiri.
    Achirnja kami serukan kepada seluruh lapisan masjarakat agar tenteram dan
    tenang serta laksanakanlah kewadjiban masing2 seperti biasa.
    Negara Islam Indonesia Gubernur
    Sipil/Militer Atjeh dan Daerah sekitarnja. MUHARRAM 1373 Atjeh Darussalam
    September 1953
    Daud Beureueh Menyerah kepada
    Penguasa Daulah Pancasila
    Bulan Desember 1962, 7 bulan
    setelah Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo Imam NII tertangkap (4 Juni 1962) di
    atas Gunung Geber di daerah Majalaya oleh kesatuan-kesatuan Siliwangi dalam
    rangka Operasi Bratayudha, Daud Beureueh di Aceh menyerah kepada Penguasa
    Daulah Pancasila setelah dilakukan “Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh” atas
    prakarsa Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel M.Jasin. (30 Tahun Indonesia
    Merdeka, 1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986)
    Hasan Di Tiro Mendeklarasi Negara
    Aceh Sumatera
    14 tahun kemudian setelah Daud
    Beureueh menyerah kepada Penguasa Daulah Pancasila, Hasan Muhammad di Tiro pada
    tanggal 4 Desember 1976 mendeklarasikan kemerdekaan Aceh Sumatra. Bunyi
    deklarasi kemerdekaan Negara Aceh Sumatra itu adalah:”.[1]
    “              “Kepada rakyat di seluruh dunia:Kami, rakyat Aceh,
    Sumatra melaksanakan hak menentukan nasib sendiri, dan melindungi hak sejarah
    istimewa nenek moyang negara kami, dengan ini mendeklarasikan bebas dan berdiri
    sendiri dari semua kontrol politik pemerintah asing Jakarta dan dari orang
    asing Jawa.Atas nama rakyat Aceh, Sumatra yang berdaulat.
    Tengku Hasan Muhammad di Tiro.
    Ketua National Liberation Front
    of Acheh Sumatra dan Presiden Aceh Sumatra,
    4 Desember 1976″
                    ”
    “              “To the people of the world:We, the people of Acheh,
    Sumatra, exercising our right of self-determination, and protecting our
    historic right of eminent domain to our fatherland, do hereby declare ourselves
    free and independent from all political control of the foreign regime of
    Jakarta and the alien people of the island of Java.In the name of sovereign
    people of Acheh, Sumatra. Tengku Hasan Muhammad di Tiro. Chairman, National
    Liberation Front of Acheh Sumatra and Head of State Acheh, Sumatra, December 4,
    1976            ”
    Akhir Konflik
    Lihat pula: Operasi militer
    Indonesia di Aceh (2003-2004)
    Pada 15 Agustus 2005, GAM dan
    pemerintah Indonesia akhirnya berhasil mencapai kesepakatan damai untuk
    mengakhiri konflik berkepanjangan tersebut.
    Pada 26 Desember 2004, sebuah
    gempa bumi besar menyebabkan tsunami yang melanda sebagian besar pesisir barat
    Aceh, termasuk Banda Aceh, dan menyebabkan kematian ratusan ribu jiwa.
    Di samping itu telah muncul
    aspirasi dari beberapa wilayah NAD, khususnya di bagian barat, selatan dan
    pedalaman untuk memisahkan diri dari NAD dan membentuk 2 provinsi baru yang
    disebut Aceh Leuser Antara yang terdiri dari Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo
    Lues, Aceh Tenggara dan Aceh Singkil, serta Aceh Barat Selatan atau ABAS yang
    terdiri dari Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Simeulue, Aceh Barat
    dan Aceh Jaya. 4 Desember 2005 diadakan Deklarasi bersama di Gelora Bung Karno,
    Jakarta yang dihadiri ratusan orang dan 11 bupati yang ingin dimekarkan
    wilayahnya, dan dilanjutkan dengan unjukrasa yang menuntut lepasnya 11
    kabupaten tadi dari Aceh.
    Pada 15 Agustus 2005, GAM dan
    pemerintah Indonesia akhirnya menandatangani persetujuan damai sehingga
    mengakhiri konflik antara kedua pihak yang telah berlangsung selama hampir 30
    tahun.
    Legenda Asal Usul Nama Aceh
    Aceh merupakan sebuah nama dengan
    berbagai legenda. Berikut beberapa mitos tentang nama Aceh yang dirangkum dari
    berbagai catatan lama.
    Menurut H. Muhammad Said (1972),
    sejak abad pertama Masehi, Aceh sudah menjadi jalur perdagangan internasional.
    Pelabuhan Aceh menjadi salah satu tempat singgah para pelintas. Malah ada di
    antara mereka yang kemudian menetap. Interaksi berbagai suku bangsa kemudian
    membuat wajah Aceh semakin majemuk.
    Muhammad Said mengutip keterangan
    dari catatan Thomas Braddel yang menyebutkan, di zaman Yunani, orang-orang
    Eropa mendapat rempah-rempah Timur dari saudagar Iskandariah, Bandar Mesir
    terbesar di pantai Laut Tengah kala itu. Tetapi, rempah-rempah tersebut bukanlah
    asli Iskandariah, melainkan mereka peroleh dari orang Arab Saba.
    Orang-orang Arab Saba mengangkut
    rempah-rempah tersebut dari Barygaza atau dari pantai Malabar India dan dari
    pelabuhan-pelabuhan lainnya. Sebelum diangkut ke negeri mereka, rempah-rempah
    tersebut dikumpulkan di Pelabuhan Aceh.
    Namun, Raden Hoesein
    Djajadiningrat dalam bukunya Kesultanan Aceh (Terjemahan Teuku Hamid,
    1982/1983) menyebutkan bahwa berita-berita tentang Aceh sebelum abad ke-16
    Masehi dan mengenai asal-usul pembentukan Kerajaan Aceh sangat bersimpang-siur
    dan terpencar-pencar.
    Sementara itu, HM. Zainuddin
    (1961) dalam bukunya Tarich Aceh dan Nusantara, menyebutkan bahwa bangsa Aceh
    termasuk dalam rumpun bangsa Melayu, yaitu; Mante (Bante), Lanun, Sakai Jakun,
    Semang (orang laut), Senui dan lain sebagainya, yang berasal dari negeri Perak
    dan Pahang di tanah Semenanjung Melayu.
    Semua bangsa tersebut erat
    hubungannya dengan bangsa Phonesia dari Babylonia dan bangsa Dravida di lembah
    sungai Indus dan Gangga, India. Bangsa Mante di Aceh awalnya mendiami Aceh
    Besar, khususnya di Kampung Seumileuk, yang juga disebut Gampong Rumoh Dua
    Blah.
    Letak kampung tersebut di atas
    Seulimum, antara Jantho dan Tangse. Seumileuk artinya dataran yang luas. Bangsa
    Mante inilah yang terus berkembang menjadi penduduk Aceh Lhee Sagoe (di Aceh
    Besar) yang kemudian ikut berpindah ke tempat-tempat lainnya.
    Sesudah tahun 400 Masehi, orang
    mulai menyebut ”Aceh” dengan sebutan Rami atau Ramni. Orang-orang dari Tiongkok
    menyebutnya lan li, lanwu li, nam wu li, dan nan poli yang nama sebenarnya
    menurut bahasa Aceh adalah Lam Muri.
    Sementara orang Melayu
    menyebutnya Lam Bri (Lamiri). Dalam catatan Gerini, nama Lambri adalah
    pengganti dari Rambri (Negeri Rama) yang terletak di Arakan (antara India
    Belakang dan Birma), yang merupakan perubahan dari sebutan Rama Bar atau Rama
    Bari.
    Rouffaer, salah seorang penulis
    sejarah, menyatakan kata al Ramni atau al Rami diduga merupakan lafal yang
    salah dari kata-kata Ramana. Setelah kedatangan orang portugis mereka lebih
    suka menyebut orang Aceh dengan Acehm.
    Sementara orang Arab menyebutnya
    Asji. Penulis-penulis Perancis menyebut nama Aceh dengan Acehm, Acin, Acheh ;
    orang-orang Inggris menyebutnya Atcheen, Acheen, Achin. Orang-orang Belanda
    menyebutnya Achem, Achim, Atchin, Atchein, Atjin, Atsjiem, Atsjeh, dan Atjeh.
    Orang Aceh sendiri, kala itu menyebutnya Atjeh.
    Informasi tentang asal-muasal
    nama Aceh memang banyak ragamnya. Dalam versi lain, asal-usul nama Aceh lebih
    banyak diceritakan dalam mythe, cerita-cerita lama, mirip dongeng. Di
    antaranya, dikisahkan zaman dahulu, sebuah kapal Gujarat (India) berlayar ke
    Aceh dan tiba di Sungai Tjidaih (baca: ceudaih yang bermakna cantik, kini
    disebut Krueng Aceh).
    Para anak buah kapal (ABK) itu
    pun kemudian naik ke darat menuju Kampung Pande. Namun, dalam perjalanan
    tiba-tiba mereka kehujanan dan berteduh di bawah sebuah pohon. Mereka memuji
    kerindangan pohon itu dengan sebutan, Aca, Aca, Aca, yang artinya indah, indah,
    indah. Menurut Hoesein Djajadiningrat, pohon itu bernama bak si aceh-aceh di
    Kampung Pande (dahulu), Meunasah Kandang. Dari kata Aca itulah lahir nama Aceh.
    Dalam versi lain diceritakan
    tentang perjalanan Budha ke Indo China dan kepulauan Melayu. Ketika sang
    budiman itu sampai di perairan Aceh, ia melihat cahaya aneka warna di atas
    sebuah gunung. Ia pun berseru “Acchera Vaata Bho” (baca: Acaram Bata Bho,
    alangkah indahnya). Dari kata itulah lahir nama Aceh. Yang dimaksud dengan
    gunung cahaya tadi adalah ujung batu putih dekat Pasai.
    Dalam cerita lain disebutkan, ada
    dua orang kakak beradik sedang mandi di sungai. Sang adik sedang hamil.
    Tiba-tiba hanyut sebuah rakit pohon pisang. Di atasnya tergeletak sesuatu yang
    bergerak-gerak. Kedua putri itu lalu berenang dan mengambilnya. Ternyata yang
    bergerak itu adalah seorang bayi. Sang kakak berkata pada adiknya “Berikan ia
    padaku karena kamu sudah mengandung dan aku belum.”
    Permintaan itu pun dikabulkan
    oleh sang adik. Sang kakak lalu membawa pulang bayi itu ke rumahnya. Dan, ia
    pun berdiam diri di atas balai-balai yang di bawahnya terdapat perapian
    (madeueng) selama 44 hari, layaknya orang yang baru melahirkan. Ketika bayi itu
    diturunkan dari rumah, seisi kampung menjadi heran dan mengatakan: adoe nyang
    mume, a nyang ceh (Maksudnya si adik yang hamil, tapi si kakak yang
    melahirkan).
    Mitos lainnya menceritakan bahwa
    pada zaman dahulu ada seorang anak raja yang sedang berlayar, dengan suatu
    sebab kapalnya karam. Ia terdampar ke tepi pantai, di bawah sebatang pohon yang
    oleh penduduk setempat dinamai pohon aceh. Nama pohon itulah yang kemudian
    ditabalkan menjadi nama Aceh.
    Talson menceritakan, pada suatu
    masa seorang puteri Hindu hilang, lari dari negerinya, tetapi abangnya kemudian
    menemukannya kembali di Aceh. Ia mengatakan kepada penduduk di sana bahwa
    puteri itu aji, yang artinya ”adik”. Sejak itulah putri itu diangkat menjadi
    pemimpin mereka, dan nama aji dijadikan sebagai nama daerah, yang kemudian
    secara berangsur-angsur berubah menjadi Aceh.
    Mitos lainnya yang hidup di
    kalangan rakyat Aceh, menyebutkan istilah Aceh berasal dari sebuah kejadian,
    yaitu istri raja yang sedang hamil, lalu melahirkan. Oleh penduduk saat itu
    disebut ka ceh yang artinya telah lahir. Dan, dari sinilah asal kata Aceh.
    Kisah lainnya menceritakan
    tentang karakter bangsa Aceh yang tidak mudah pecah. Hal ini diterjemahkan dari
    rangkaian kata a yang artinya tidak, dan ceh yang artinya pecah. Jadi, kata
    aceh bermakna tidak pecah.

    Di kalangan peneliti sejarah dan
    antropologi, asal-usul bangsa Aceh adalah dari suku Mantir (Manteu, bahasa
    Aceh) yang hidup di rimba raya Aceh. Suku ini mempunyai ciri-ciri dan postur
    tubuh yang agak kecil dibandingkan dengan orang Aceh sekarang. Diduga suku
    Manteu ini mempunyai kaitan dengan suku bangsa Mantera di Malaka, bagian dari
    bangsa Khmer dari Hindia Belakang.
    Total
    0
    Shares
    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    Previous Post

    Sejarah Singkat Yogyakarta

    Next Post

    Sejarah Kota Bandung

    Related Posts
    Total
    0
    Share